Hadits
tentang “Kesialan”
Posted
on May 24, 2011 in Aqidah dan Manhaj, Hadits
| 0 comments
Kata orang,
kita sekarang sudah berada di zaman modern dan era globalisasi. Namun, entah
kenapa, khurofat-khurofat jahiliah masih saja diadopsi oleh sebagian kaum
muslimin sekarang, walaupun mereka sudah menyandang pendidikan tinggi. Di
antara khurofat tersebut adalah perbuatan tathoyyur yaitu merasa sial
dengan burung atau lainnya. Dalam Islam, khurofat seperti itu diberantas dan
sebaliknya kita diperintahkan untuk hanya bertawakkal kepada Alloh dalam segala
urusan.
Ada
suatu masalah penting di sini yang permasalahannya perlu kami dudukkan dengan
benar, yaitu adanya beberapa hadits yang sekilas saling bertentangan. Dalam
banyak hadits, khurofat tersebut ditiadakan bahkan dimasukkan kategori
kesyirikan. Namun, di sisi lain ada beberapa hadits yang sekilas mengisyaratkan
adanya beberapa makhluk yang membawa sial. Bagaimana permasalahannya?! Dan
bagaimana komentar ulama mengenainya?! Marilah kita kaji bersama masalah ini
secara ilmiah.
Teks
Hadits
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ «
الشُّؤْمُ فِى الدَّارِ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ ».
Dari Abdulloh bin Umar berkata: “Saya
mendengar Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kesialan itu dalam
tiga perkara: kuda, wanita, dan rumah.’”[1]
عَنْ سَهْلِ بْنِ
سَعْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنْ كَانَ الشُّؤْم
فَفِى الْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ وَالْمَسْكَنِ ».
Dari Sahl bin Sa’ad bahwasanya
Rosululloh shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya kesialan itu
ada, maka pada wanita, kuda, dan tempat tinggal.”[2]
Bila
kita cermati dua hadits di atas, akan kita dapati dua lafazh yang berbeda, pada
hadits pertama dengan lafazh tegas dan pada hadits kedua dengan lafazh syarat (seandainya
ada).
Sekilas
Bertentangan
Sekilas
pandang, seakan-akan terjadi kontradiksi antara hadits di atas dengan
dalil-dalil dan hadits-hadits yang banyak sekali tentang larangan merasa sial,
di antaranya yang paling tegas adalah hadits Abdulloh bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu:
“Thiyaroh
(merasa sial) adalah termasuk kesyirikan.”[3]
Hadits
ini dengan tegas menyatakan bahwa thiyaroh (tathoyyur) adalah termasuk
kesyirikan.
Bagaimana
Cara Memadukannya?
Para
ulama telah berusaha untuk memadukan antara kedua hadits di atas dan mereka
menegaskan bahwa di sana ada perbedaan antara kesialan dengan tiga hal (yaitu:
wanita, rumah, dan kendaraan) di atas dengan thiyaroh yang syirik. Namun,
metode mereka dalam memadukannya beragam, di antaranya[4]:
Pertama: Sebagian
mereka mengatakan bahwa pada asalnya merasa sial itu tidak boleh, tetapi khusus
dengan tiga hal di atas maka boleh.[5]
Kedua: Sebagian ulama
mengatakan bahwa bolehnya merasa sial dengan tiga hal di atas adalah mansukh
(terhapus) dengan hadits-hadits larangan.[6]
Ketiga: Melemahkan dan
mengingkari hadits-hadits yang menyatakan kesialan pada tiga hal di atas atau
mengingkari ketegasan lafazh tersebut, yang benar menurut mereka adalah dengan
lafazh: “Kalau memang ada kesialan pada sesuatu, maka tiga perkara.”[7]
Pendapat
yang kuat adalah yang merinci bahwa kesialan itu ada dua macam:
- Kesialan
yang haram, seperti keyakinan orang-orang jahiliah yaitu pada hal-hal
tertentu yang dianggap membawa sial bahwa hal itu berpengaruh pada keadaan
dan merupakan faktor kebaikan dan keburukan, sehingga menghalangi mereka
dari keinginan dan tekad mereka. Imam Nawawi v\ berkata tatkala
menjelaskan segi kesyirikan thiyaroh: “Sebab mereka berkeyakinan benda
tersebut berpengaruh untuk maju mundurnya suatu keinginan.”[8]
- Kesialan
yang ditetapkan dalam hadits, yaitu apa yang dijumpai pada hati seorang
kebencian pada hal-hal tertentu ketika terjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan padanya. Di antara ciri-cirinya:
- Kesialan
ini tidak muncul kecuali setelah terjadinya kemadhorotan yang
berulang-ulang. Seandainya seorang merasa terkena madhorot dari sesuatu,
maka boleh baginya untuk meninggalkannya.
- Kesialan
ini muncul karena adanya sifat yang tercela, berbeda dengan kesialan terlarang
yang biasanya muncul karena sebab yang tidak jelas, seperti membatalkan
rencana bepergian gara-gara melihat seekor burung.
- Dampak
dari kesialan ini adalah meninggalkan, dengan tetap berkeyakinan bahwa
hanya Alloh saja yang menciptakan dan mengatur kebaikan dan keburukan.
Kesialannya bukan karena zat benda tersebut memiliki pengaruh, melainkan
karena apa yang Alloh takdirkan pada benda tersebut berupa kebaikan dan
kejelekan. Hal ini diperkuat oleh hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu bahwa ada seorang berkata kepada Nabi shallalllahu ‘alaihi
wa sallam: “Wahai Rosululloh, dahulu kami berada di rumah dan jumlah
kami serta harta kami banyak, tatkala kami pindah rumah lain, jumlah kami
dan harta kami menjadi sedikit.” Lalu Nabi shallalllahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Tinggalkan rumah tersebut.”[9]
Dalam
hadits ini, Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada
orang tersebut pindah rumah tatkala beliau mendapati kebencian mereka, adanya
madhorot yang menimpa mereka serta berulangnya hal itu pada mereka. Nabi shallalllahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk pindah agar hilang perasaan benci
dalam hati mereka, bukan karena zat rumah itu memiliki pengaruh.[10]
Demikianlah
perincian para ulama dalam masalah ini, sehingga dengan demikian hilanglah
anggapan tentang adanya kontradiksi pada hadits-hadits Rosululloh shallalllahu
‘alaihi wa sallam.[11]
Beberapa
Masalah Tentang Hadits
Untuk
melengkapi pembahasan hadits ini, kami akan sedikit
menambahkan beberapa pembahasan seputar hadits ini secara ringkas[12].
1.
Definisi tathoyyur
Tathoyyur
(thiyaroh) adalah merasa sial karena melihat atau mendengar sesuatu seperti
keyakinan orang jahiliah dahulu apabila melihat burung terbang ke arah kanan
maka pertanda baik dan bila terbang ke kiri maka pertanda keburukan.
Perlu
diketahui bahwa khurofat ini sampai sekarang masih bercokol di sebagian
masyarakat. Sebagai contoh, sebagian masyarakat masih meyakini bila ada burung
gagak melintas di atas maka itu pertanda akan ada orang mati, bila burung hantu
berbunyi pertanda ada pencuri, bila mau beergian lalu di jalan dia menemui ular
menyeberang maka pertanda kesialan sehingga perjalanan harus diurungkan.
Demikian
pula ada yang merasa sial dengan bulan Muharrom (Suro: Jawa), hari Jum’at
Kliwon, ada juga yang merasa sial dengan angka seperti angka 13 dan sebagainya.[13]
2.
Hukum thiyaroh
Thiyaroh
hukumnya adalah haram dan termasuk kesyirikan yang menodai tauhid seseorang,
karena dua hal:
Pertama: Seorang yang
merasa sial berarti telah menghilangkan tawakkalnya kepada Alloh dan dia malah
berpedoman pada selain Alloh.
Kedua: Seorang yang
merasa sial berarti bergantung pada perkara yang tidak ada hakikatnya padahal
hanya khayalan belaka, sehingga semua ini dapat menodai tauhid seorang hamba.
Orang
yang merasa sial tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Dia
meninggalkan keinginannya karena mengikuti keyakinan sialnya. Ini adalah bentuk
kesialan yang paling berbahaya bagi aqidah seorang.
Kedua: Dia
melanjutkan keinginannya, namun dengan perasaan takut dan gundah dalam hatinya.
Ini juga berbahaya bagi tauhid seorang sekalipun lebih ringan dari yang
sebelumnya.
Maka
hendaknya bagi seseorang untuk melanjutkan keinginannya dengan lapang dada dan
tawakkal yang kuat kepada Alloh tanpa melirik pada kesialan karena hal itu
berarti buruk sangka kepada Alloh. Bahkan merasa sial juga bisa sampai kepada
derajat syirik besar yang mengelurkan seorang dari Islam yaitu apabila dia
menyakini bahwa benda yang dia anggap pembawa sial tadi memiliki pengaruh
secara dzatnya, karena dengan demikian berarti dia menjadikan tandingan bagi
Alloh dalam masalah penciptaan dan pengaturan.[14]
3.
Hukum meninggalkan tiga hal (rumah, istri, kendaraan)
Maksudnya
kalau seandainya seorang terkena cobaan pada tiga hal tersebut terus-menerus
sehingga dia merasa keberatan dan merasakan kebencian terhadapnya, bolehkah
untuk meninggalkannya?! Jawabannya adalah boleh dan ini tidak termasuk kesialan
yang dilarang. Imam al-Baghowi rahimahullah mengomentari hadits pembahasan:
“Ini adalah petunjuk Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam bagi yang
memiliki rumah, istri, atau kuda yang tidak menyenangkannya agar dia berpisah
darinya. Kalau rumah maka dengan pindah darinya, kalau istri maka dengan
menceraikannya, kalau kuda (kendaraan) maka dengan menjualnya. Dan semua ini
tidaklah termasuk thiyaroh yang terlarang.”[15]
4.
Tanda-tanda kesialan pada tiga hal dan faktor pengkhususannya
Para
ulama menyebutkan bahwa tanda kesialan pada rumah yaitu sempitnya, tetangga
yang jelek, sering kena musibah (pencurian, misalnya), jauhnya dari masjid
sehingga tak mendengar adzan, dan sebagainya. Tanda kesialan istri yaitu dengan
kemandulannya, jelek akhlaknya, selingkuh, dan sebagainya. Adapun tanda
kesialan pada kuda adalah sulit ditumpangi, lambat jalannya, dan sebagainya.
Adapun
kenapa dikhususkan tiga hal tersebut saja? Jawabannya adalah karena tiga hal
itu kebutuhan primer seorang yang selalu berkaitan dengan manusia yaitu rumah,
istri, dan kendaraan.[16]
Demikianlah
pembahasan
yang dapat kami sajikan. Semoga bermanfaat.
Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
(www.abiubaidah.com)
[1]
HR. Bukhori: 2858 dan Muslim: 2225
[2]
HR. Bukhori: 5095 dan Muslim: 2226
[3]
HR. Ahmad 1/389, Abu Dawud: 3910, Tirmidzi: 1614, dan dishohihkan al-Albani
dalam Shohih Sunan Tirmidzi 2/216.
[4]
Diringkas dari Ahadits Aqidah karya Sulaiman bin Muhammad ad-Dubaikhi
1/115–129, Darul Bayan al-Haditsiyyah, cet. pertama 1422 H.
[5]
Lihat Fathul Bari 10/213 oleh Ibnu Hajar, Ma’alim Sunan 4/236,
237, Ta‘wil Mukhtalifil Hadits hlm. 106 oleh Ibnu Qutaibah, Taisir
Aziz Hamid hlm. 377 oleh Sulaiman bin Abdillah, al-Adab Syar’iyyah
4/7 oleh Ibnu Muflih.
[6]
Lihat at-Tamhid 9/290 oleh Ibnu Abdil Barr.
[7]
Lihat Syarh Ma’anil Atsar 4/314 oleh ath-Thohawi, Tahdzibul Atsar
1/31 oleh ath-Thobari, at-Tamhid 9/283 oleh Ibnu Abdil Barr, al-Ijabah
li Irodi Mastadrokathu Aisyah ’ala Shohabah hlm. 128 oleh az-Zarkasyi, Silsilah
Ahadits ash-Shohihah 1/727, 4/565 oleh al-Albani.
[8]
Syarh Muslim 14/471
[9]
HR. Abu Dawud: 3917, al-Bukhori dalam Adabul Mufrod: 918 dan dihasankan
al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud 2/743.
[10]
Ta‘wil Mukhtalifil Hadits hlm. 99 oleh Ibnu Qutaibah
[11]
Lihat Miftah Dar Sa’adah 3/344 oleh Ibnul Qoyyim, Latho‘if Ma’arif
hlm. 83 oleh Ibnu Rojab, Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 142, al-Majmu’
Tsamin oleh Ibnu Utsaimin 1/61.
[12]
Diringkas dari risalah Ma’na Hadits asy-Syu’mu fi Tsalatsah oleh Dr.
Muhammad bin Abdul Aziz al-Ali.
[13]
Lihat risalah at-Tathoyyur oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd dan
lihat kembali tulisan Ustadzuna Abu Nu’aim rahimahullah tentang masalah
ini dalam Majalah Al Furqon Edisi 5/Th. III hlm. 23.
[14]
Lihat Miftah Dar Sa’adah 2/320, Latho‘iful Ma’arif hlm. 71, al-Qoulus
Sadid hlm. 18 oleh as-Sa’di, al-Qoulul Mufid 1/560 oleh Ibnu
Utsaimin.
[15]
Syarh Sunnah 9/13, 12/178–179
[16]
Syarh Sunnah 9/14 oleh al-Baghowi, Faidhul Qodir 3/33 oleh al-Munawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar