Selasa, 13 Maret 2012

WANITA-WANITA PENGUKIR SEJARAH ISLAMIAH

WANITA-WANITA PENGUKIR SEJARAH ISLAMIAH
Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf خفظه الله

.








MUQODDIMAH

Di penghujung bunga rampai pembahasan kehidupan kaum wanita, -mulai dari masalah aqidah, ibadah, muamalah dan rumah tangga serta pembahasan penting lainnya-, yang dengan itu semua, insya Alloh kita mengetahui bahwa Islam telah mengatur kehidupan kaum hawa ini secara sempurna, dan hal ini tidaklah mengherankan karena Alloh عزّوجلّ telah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku rela Islam sebagai agama kalian.” (QS. al-Maidah [5]: 3)
Berkata Abu Dzar رضي الله عنه: "Rosululloh صلي الله عليه وسلم meninggalkan kami, dan tidaklah terdapat seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di angkasa melainkan beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kami." (HR. Thobroni dalam al-Kabir 1647 dengan sanad shohih)
Dan merupakan sesuatu yang sudah mapan dalam aqidah kaum muslimin, bahwa syariat Alloh dan Rosul-Nya pasti akan membawa manfaat yang sangat besar, tak terkecuali syariat yang diterapkan pada kaum wanita, semua itu kalau dijalankan dengan sebenarnya pasti akan membawa hikmah yang tak terhingga untuk kehidupan mereka sendiri dan untuk kehidupan alam semesta secara umum. Bacalah firman Alloh سبحانه و تعالي:
وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتَ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُوْلَـئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلاَ يُظْلَمُونَ نَقِيراً
“Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan yang sholih dari kalangan laki-laki maupun wanita dan dia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk ke dalam surga serta tidak didholimi sedikitpun." (QS. an-Nisa' [4]: 124)
Sejarah adalah bukti yang paling kuat akan hal tersebut, kalau kita membuka lembaran-lembaran sejarah, niscaya kita akan temukan ratusan bahkan ribuan atau mungkin jumlah di atas itu yang menggambarkan bagaimana seorang wanita telah mencapai derajat yang sangat mulia di mata kaumnya bahkan di mata pembesar mereka di bawah naungan ajaran Islam yang mulia.
Hal ini sangat penting untuk disampaikan, terutama pada hari-hari ini, ketika kaum muslimin secara umum dan wanitanya secara khusus banyak yang mengagumi peradaban barat yang penuh glamour tapi sebenarnya tak lebih dari sekedar fatamorgana belaka.
Sekarang marilah kita simak sedikit gambaran yang dipaparkan oleh sejarah tentang keagungan wanita di bawah naungan syariat Islam.1

 Kisah-kisah di bawah ini dinukil dari risalah Inayatun Nisa' bil Haditsin Nabawi oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya

KAUM WANITA MENJADI
SUMBER ILMU BAGI KAUMNYA

Tsumamah bin Huzn al-Qusyairi berkata: "Saya bertemu dengan Aisyah رضي الله عنها dan saya bertanya kepada beliau tentang nabidz (semacam rendaman buah), maka Aisyah memanggil seorang budak wanita dari Ethiopia seraya berkata: 'Tanyakanlah kepada wanita ini, karena dia pernah membuatkannya untuk Rosululloh صلي الله عليه وسلم.'" (HR. Muslim)
Dari Thowus رحمه الله berkata: "Saya bersama Ibnu Abbas رضي الله عنهما, tiba-tiba Zaid bin Tsabit رضي الله عنه berkata: 'Apakah engkau berfatwa bahwa seorang wanita yang sedang haid boleh pulang (meninggalkan ibadah haji) sebelum melakukan thowaf Wada'?' maka Ibnu Abbas menjawab: "Kenapa tidak? tanyakanlah masalah ini pada Fulanah seorang wanita dari kalangan wanita anshor, apakah Rosululloh memerintahkannya untuk thowaf Wada' dulu?" kemudian suatu ketika Zaid balik lagi kepada Ibnu Abbas seraya berkata: "Engkau benar." (HR. Muslim)
Dari Abu Salamah berkata: "Ada seseorang yang datang kepada Ibnu Abbas رضي الله عنهما dan saat itu Abu Huroiroh رضي الله عنه sedang berada di dekatnya, lalu seseorang tadi berkata: 'Beritahukanlah kepadaku tentang hukum seorang wanita yang melahirkan anak setelah empat puluh hari dari saat kematian suaminya?' Maka Ibnu Abbas berkata: 'Dia wajib menjalani masa iddah dengan waktu yang paling panjang.1 Maka saya berkata: 'Wanita yang hamil, masa iddahnya adalah sampai melahirkan.'" Berkata Abu Huroiroh: "Saya setuju dengan Abu Salamah." Maka Ibnu Abbas mengutus Kuraih kepada Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya tentang masalah ini, maka Ummu Salamah berkata: "Suami Subai'ah al-Aslamiyyah terbunuh sedangkan saat itu beliau sedang hamil, lalu empat puluh hari kemudian dia melahirkan, dan diapun dilamar oleh seseorang, maka Rosululloh menikahkannya. Dan di antara yang melamarnya adalah Abu Sanabil." (HR. Bukhori Muslim)

1 Maksudnya bahwa iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan anaknya, sedangkan iddah bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Maka kalau bertemu keduanya yaitu kalau seorang suami wafat meninggalkan istri yang sedang hamil, lalu bagaimana dengan iddahnya? Madzhab Ibnu Abbas adalah masa iddahnya waktu yang terpanjang, dalam artian, kalau saat suami meninggal dunia, istrinya masih hamil satu bulan maka berarti iddahnya sampai melahirkan, sedangkan kalau suami meninggal dunia saat sudah hamil sembilan bulan, maka iddahnya empat bulan sepuluh hari. Dan yang rojih dalam masalah ini adalah masa iddahnya sampai melahirkan, baik waktunya pendek atau panjang.

SEBAGIAN ULAMA KIBAR
BERGURU KEPADA WANITA

Banyak sekali para ulama sejak zaman sahabat sampai saat ini yang berguru pada wanita, di antaranya adalah:
  1. Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه
Siapa yang tidak mengenal Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه? Siapa yang   tidak  mengenal   kedekatannya dengan Rosululloh صلي الله عليه وسلم. Bukankah dia adalah ahlul bait sekaligus menantunya? Dan siapa pula yang tidak mengenal ilmu dan hikmahnya? Meskipun demikian, dia pernah berguru kepada seorang wanita yaitu Maimunah binti Sa'd seorang pelayan Rosululloh صلي الله عليه وسلم.
  1. Imam Malik bin Anas رحمه الله
Dia pernah berguru dan meriwayatkan hadits dari Aisyah binti Sa'd bin Abi Waqqosh.
Berkata al-'Ijli: "Dia adalah seorang wanita dari kalangan tabi'in asal kota Madinah dan dia adalah seorang yang tsiqoh."
  1. Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله
Beliau meriwayatkan hadits dari Ummu Umar binti Hasan bin Zaid ats-Tsaqofi
  1. Al-Hafidz Ibnu Asakir رحمه الله
Di zamannya, beliau adalah seorang yang paling terpercaya dan paling luas pengetahuannya dalam bidang ilmu hadits. Beliau berguru pada seribu dua ratus ahli hadits, di antara gurunya tersebut terdapat delapan puluh lebih wanita.
  1. Imam Dzahabi رحمه الله
Adakah kehormatan yang lebih bagi seorang wanita, dibandingkan dengan tatkala seorang imam sebesar Imam Dzahabi, harus menyesal tatkala tidak sempat menimba ilmu darinya? dialah Ummu Muhammad Sayyidah binti Musa al-Mishriyyah.
Cermatilah kisah Imam Dzahabi ini: "Saya sudah bepergian demi menemuinya, ternyata beliau meninggal dunia saat saya masih berada di Palistina pada bulan Rojab tahun 695 H."
Imam Dzahabi juga berkata: "Saya sangat ingin bertemu dengannya, maka saya pun berangkat menuju Mesir, dan sepengetahuanku bahwa beliau masih hidup, ternyata tatkala saya masuk Mesir, beliau telah meninggal dunia sepuluh hari yang lalu, beliau meninggal dunia pada hari Jum'at 6 Rojab dan saat itu saya masih berada di lembah Fahmah."
Dan masih banyak di antara pembesar ulama lainnya yang menimba ilmu dari kaum wanita, misalnya Imam Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar, al-Mundziri dan lainnya.

ZAMAN TIDAK PERNAH KOSONG DARI
PARA ULAMA KALANGAN WANITA

Zaman tidak akan pernah melupakan keagungan Aisyah keutamaannya tidak terhitung, ilmunya tak terhingga, sehingga Imam Hakim berkata: "Seperempat hukum syariat Islam diambil dari Aisyah."
Dan dengarkanlah persaksian para ulama di zamannya:
Berkata Abu Musa al-Asy'ari رضي الله عنه: "Tidaklah para sahabat Rosululloh kesulitan tentang sebuah masalah, lalu mereka bertanya kepada Aisyah, kecuali pasti akan menemukan solusinya.
Berkata Masruq رحمه الله: "Saya melihat pembesar sahabat Rosululloh bertanya kepada beliau tentang faro'idl."
Berkata Urawah bin Zubair رحمه الله: "Saya tidak melihat orang yang lebih mengetahui tentang ilmu agama, kedokteran dan sya'ir melebihi Aisyah."
Berkata Ibnu Abdil Barr رحمه الله: "Aisyah adalah orang nomor satu pada zamannya dalam tiga ilmu: ilmu agama, kedokteran, dan sya'ir."
Pernah suatu ketika, Urwah bin Zubair رحمه الله berkata kepada Aisyah رضي الله عنها: "Wahai ibuku, saya tidak heran dengan ilmu agamamu, saya akan katakan bahwa engkau adalah istri Rosululloh صلي الله عليه وسلم, dan putri Abu Bakr رضي الله عنه. Dan saya juga tidak heran dengan ilmumu tentang sya'ir dan sejarah bangsa Arab, akan saya katakan bahwa engkau adalah putri Abu Bakr yang merupakan orang yang paling tahu tentang itu semua, namun yang saya heran adalah ilmumu tentang kedokteran, dari mana engkau mendapatkannya?" Maka Aisyah menepuk pundaknya1 dan berkata: "Wahai Urwah, Pada akhir hayatnya, Rosululloh sakit keras dan banyak sekali utusan dari berbagai kabilah Arab yang mengunjunginya, lalu mereka memberikan resep pada beliau dan sayalah yang mengurusi itu semua, maka dari situlah saya mendapatkan ilmu kedokteran."
Jangan katakan kepadaku bahwa itu hanya didapatkan oleh Aisyah رضي الله عنها saja. Tidak !!! Lihatlah pada kitab-kitab biografi ulama niscaya akan kita temukan banyak sekali lainnya yang merupakan ulama wanita pada zaman sahabat.

 Urwah bin Zubair adalah keponakan Aisyah, karena ibu beliau adalah Asma' binti Abu Bakr saudari Aisyah. Jadi Urwah adalah mahrom bagi Aisyah.


ULAMA WANITA ZAMAN TABI'IN

Dari madrasah ummahatul mu'minin dan para sahabat lainnya, lahirlah para ulama-ulama besar dari kalangan kaum wanita, di antara mereka adalah: Amroh binti Abdurrohman al-Anshoriyyah an-Najjariyyah.
Cukuplah sebagai simbol keagungannya, bahwa imam sebesar Qosim bin Muhammad رحمه الله berkata kepada Ibnu Syihab: "Wahai anakku, saya melihatmu sangat bersemangat menuntut ilmu, maukah saya tunjukkan kepadamu gudangnya ilmu?" berkata Ibnu Syihab: "Iya," maka Qosim berkata: "Belajarlah pada Amroh, karena dia dahulu berada satu rumah dengan Aisyah." Maka saya pun mendatanginya, ternyata saya temukan dia bagaikan lautan yang tak bertepi."
Di antara mereka juga adalah Hafshoh binti Sirin.
Berkata Iyas bin Muawiyyah (seorang qodli tabi'in yang terkenal dengan kecerdasannya); "Saya tidak menemukan seorangpun yang saya lebihkan di atas Hafshoh binti Sirin." Lalu orang-orang menyebutkan Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, maka Iyas berkata: "Bagiku tidak ada yang lebih utama daripada Hafshoh."
Dan masih banyak lainnya.


ULAMA WANITA ABAD
KEDUA DAN KETIGA

Di abad ini,lahir para pembesar ulama dari kalangan wanita, di antara mereka adalah: Abidah al-Madaniyyah. Berkata sebagian ulama: "Dia meriwayatkan sepuluh ribu hadits."
Di antara mereka juga adalah: 'Ulayyah binti Hasan, Nafisah binti Hasan bin Zaid dan banyak lainnya.


PARA ULAMA WANITA PADA
ZAMAN SETELAHNYA

Dan zaman pun berganti, namun tidak pernah hilang kemuliaan kaum wanita dari lembaran-lembaran sejarahnya, akan tetapi tidak mungkin ditulis semuanya. Hanya saja saya ingin menutupnya dengan seorang wanita mulia pada abad ke-12 H.
Dia adalah Fathimah binti Hamd al-Fudhoili al-Hanbali, dia adalah seorang wanita mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, banyak menulis kitab dengan tangannya sendiri, banyak mendapatkan pengakuan dari para ulama hadits di zamannya, dia adalah seorang ahli hadits yang sangat terkenal. Di akhir hayatnya dia menetap di Makkah al-Mukaromah, maka para ulama datang kepadanya untuk menimba ilmu, begitu pula kaum wanita pun berdatangan kepadanya. Dan ternyata orang-orang yang menimba ilmu kepada beliau pun berubah menjadi orang-orang sholih yang taat menjalankan syariat agamanya

NASEHAT DAN PENUTUP

Wahai saudari-saudari muslimah!! Itulah setitik air dari samudra sejarah yang berisikan wanita-wanita mulia. Tidakkah para saudariku muslimah saat ini ingin meniru mereka, dan saya yakin merekalah orang-orang yang tidak merugi bagi siapa yang menirunya. Mudah-mudahan Alloh memberikan taufik kepada kita semua.
Kemudian, sebagai sebuah nasehat bagi para saudara-saudaraku kaum laki-laki yang merupakan wali dan yang mengurusi kehidupan mereka. Perhatikanlah firman Alloh Ta'ala:
قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“... jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka...”(QS. at-Tahrim [66]: 6)
dan tidak ada yang bisa menghindarkan keluarga dari api neraka melebihi mengajarkan kepada mereka ilmu syar'i.
Berkata Imam Ibnul Haj: "Wajib bagi setiap orang untuk mengajari keluarganya masalah ilmu syar'i yang mereka butuhkan, karena mengajar orang lain saja diperintahkan, maka mengajar orang-orang dekat dan keluarganya lebih ditekankan lagi, karena merekalah orang yang disebutkan dalam hadits Rosululloh:
كُلُّكُمْ رَاعٍ َفَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka wajib baginya untuk segera mengajari sesuatu yang paling penting dalam urusan agamanya, mulai dari masalah iman, Islam, ihsan, bagaimana cara wudhu, mandi, tayamum juga bagaimana cara sholat yang benar, serta semua perkara yang wajib diketahui oleh anggota keluarganya, setelah itu baru mengajarkan perkara lainnya yang sunnah, mulai dari yang paling penting kemudian yang di bawahnya." (Lihat al-Madkhol 1/209 dengan diringkas)
Terutama pada zaman sekarang ini, ketika api fitnah syahwat dan asap tebal syubuhat sudah sedemikian panas dan kelamnya, maka seharusnya setiap orang sangat perhatian kepada diri dan keluarganya dari semua yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam api neraka Jahannam.
Marilah sekarang kita lihat bagaimana yang dilakukan oleh para ulama kita dahulu, sehingga dari rumah-rumah mereka terlahir wanita-wanita agung.
Abu Nu'aim dalam Hilyah 2/167 dan adz-Dzahabi dalam Siyar a'lamin Nubala 4/233 menceritakan tentang Sa'id bin Musayyib (beliau adalah Imam kota Madinah terbesar zaman Tabi'in) yang enggan untuk menikahkan putrinya dengan Walid bin Abdul Malik yang menjadi putra mahkota saat itu, ternyata beliau malah menikahkannya dengan salah seorang muridnya. Dan dalam kisah tersebut diceritakan bahwa tatkala keesokan harinya, suami putri Sa'id ingin keluar rumah, maka istrinya berkata kepadanya: "Engkau mau kemana?" Suaminya menjawab: "Mau menghadiri majlis ilmu Sa'id, saya ingin belajar." Maka istrinya berkata kepadanya: “Duduklah, saya akan mengajarkan kepadamu ilmunya bapakku Sa'id."
Demikian juga apa yang diceritakan tentang Imam Malik, bahwa kalau ada seseorang yang membaca kitab al-Muwatho', lalu salah atau menambahi huruf atau menguranginya, maka putri Imam Malik yang berada dibalik pintu segera mengetuk pintu, maka Imam Malik segera berkata: "Ulangi, hafalanmu tadi terdapat kesalahan."
Adakah keberhasilan yang lebih dibandingkan putri Sa'id dan Malik, tatkala putri keduanya mampu mewarisi ilmu Sa'id bin Musayyib dan Malik bin Anas.
Pada zaman kita sekarang, lihatlah Ummu Abdillah binti Muqbil bin Hadi al-Wad'i'i, Ummu Abdillah binti Syaikh al-Albani serta lainnya.
Jangan katakan bahwa wajar saja, lha wong mereka putrinya ulama, itu tidak selamanya benar, karena ilmu bukan harta benda yang bisa diwarisi begitu saja.
Alangkah bagusnya apa yang diceritakan oleh al-Farwi: "Kami pernah duduk di majelis Imam Malik, dan saat itu putra beliau keluar masuk majlis dan tidak mau duduk untuk belajar, maka Imam Malik menghadap kami seraya berkata: "Masih ada yang meringankan bebanku, yaitu bahwa masalah ilmu ini tidak bisa diwariskan."
Oleh karena itu kewajiban seseorang untuk berjuang keras mendidik putri-putri mereka, memasukkannya ke pesantren-pesantren yang mengajarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafus Sholih serta menikahkannya dengan laki-laki yang akan bisa menjaga agamanya serta mengajarkan ilmu dan kebaikan kepadanya.
Alangkah agungnya apa yang diceritakan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman: "Syaikh Jamil Zainu1 pernah bercerita kepadaku bahwa tatkala beliau ingin menikahkan putrinya dengan salah satu saudara kami dari Yordania, kata beliau: 'Ketika saya di masjid, maka saya duduk di bagian paling belakang untuk melihat sholat para pemuda, sehingga perhatianku tertuju kepada seorang pemuda yang paling baik sholatnya, paling khusyu' dan paling lama berdirinya. Lalu saya mencarinya lagi saat sholat Shubuh dan Isya' sehingga saya mendapatkan dia sebagai seorang pemuda yang rajin dan tidak malas. Lalu saya mendatangi pemuda tersebut dan bertanya kepadanya: Apakah engkau sudah menikah?' Dia menjawab: 'Belum.' Saya bertanya lagi: 'Maukah engkau saya nikahkan dengan putriku?' maka sepontan dia menjawab: 'Subhanalloh, siapa yang tidak mau?' Berkata Syaikh Jamil Zainu: Akhirnya saya menikahkan putriku dengannya.'"
Demikianlah seharusnya yang dilakukan oleh para orang tua kalau menginginkan kebaikan putri-putri mereka. Wallohul muwaffiq.[]

  Beliau adalah ulama pada zaman ini, tulisannya yang populer  adalah Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat, ebook-nya secara berseri telah di publis di http://ibnumajjah.wordpress.com/.

BAB AIR-AIR


BAB AIR-AIR
بَابُ اَلْمِيَاهِِ
Hadits No. 1
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut. "Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal." Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ  وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ
Hadits No. 2
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya (hakekat) air adalah suci dan mensucikan, tak ada sesuatu pun yang menajiskannya." Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad.

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ
Hadits No. 3
Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya." Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim.

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ  أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
Hadits No. 4
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi: "Air itu suci dan mensucikan kecuali jika ia berubah baunya, rasanya atau warnanya dengan suatu najis yang masuk di dalamnya."

وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
Hadits No. 5
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis". Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ  أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ  وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ
Hadits No. 6
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika dalam keadaan junub." Dikeluarkan oleh Muslim.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Hadits No. 7
Menurut Riwayat Imam Bukhari: "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak mengalir kemudian dia mandi di dalamnya."

َلِلْبُخَارِيِّ لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي  ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
Hadits No. 8
Menurut riwayat Muslim dan Abu Dawud: "Dan janganlah seseorang mandi junub di dalamnya."

َوَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ  وَلِأَبِي دَاوُد : وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ
Hadits No. 9
Seorang laki-laki yang bersahabat dengan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki atau laki-laki dari sisa air perempuan, namun hendaklah keduanya menyiduk (mengambil) air bersama-sama. Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan sanadnya benar.

َوَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ
Hadits No. 10
Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah r.a. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

َوَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Hadits No. 11
Menurut para pengarang kitab Sunan: Sebagian istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mandi dalam satu tempat air, lalu Nabi datang hendak mandi dengan air itu, maka berkatalah istrinya: Sesungguhnya aku sedang junub. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub." Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.

َوَلِأَصْحَابِ السُّنَنِ : اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا فَقَالَتْ : إنِّي كُنْت جُنُبًا فَقَالَ : إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ
Hadits No. 12
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah." Dikeluarkan oleh Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan: "Hendaklah ia membuang air itu." Menurut riwayat Tirmidzi: "Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah).

َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ  أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ
Hadits No. 13
Dari Abu Qotadah Radliyallaahu 'anhu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda perihal kucing -bahwa kucing itu tidaklah najis, ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu. Diriwayatkan oleh Imam Empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.

َوَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ - فِي الْهِرَّةِ - : إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَة
Hadits No. 14
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: "Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu." Muttafaq Alaihi.

َوَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits No. 15
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan jantung." Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan.

َوَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ : فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ : فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِيهِ ضَعْفٌ
Hadits No. 16
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kamu maka benamkanlah lalat itu kemudian keluarkanlah, sebab ada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap lainnya ada obat penawar." Dikeluarkan oleh Bukhari dan Abu Dawud dengan tambahan: "Dan hendaknya ia waspada dengan sayap yang ada penyakitnya."

َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِي الْآخَرِ شِفَاءً أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد . وَزَادَ وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِي فِيهِ الدَّاءُ
Hadits No. 17
Dari Abu Waqid Al-Laitsi Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Anggota yang terputus dari binatang yang masih hidup adalah termasuk bangkai." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menyatakannya shahih. Lafadz hadits ini menurut Tirmidzi.

َوَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ - وَهِيَ حَيَّةٌ - فَهُوَ مَيِّتٌ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَاللَّفْظُ لَهُ