Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah adalah
perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah
Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syekh besar
Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syekh Ahmad Khatib Ibn
Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M). Beliau adalah seorang ulama
besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah.
Syekh Ahmad Khatib adalah mursyid
Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Thariqah Naqsabandiyah.
Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Thariqah Qadiriyah
saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau
menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.
Sebagai seorang mursyid yang kamil
mukammil Syekh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat
modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah
Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat
mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah
Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan
ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran
kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan
mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat
tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut
memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan
metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu
sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud.
Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah
Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat.
Dengan penggabungan kedua jenis
tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih
tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam
kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan
penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan
modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat
Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena
yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah,
maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir
tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).
Penamaan tarekat ini tidak terlepas
dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syekh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri
kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada
namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual
tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat
Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil
ijtihadnya.
Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf,
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya,
terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para
pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien.
Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits,
dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam
tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, adab (etika), dzikir, dan
murakabah.[]
Dua pengikut aliran sufi
terbesar di dunia, yaitu Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah, kedua-duanya
terdapat di Indonesia. Tidak diketahui secara pasti bagaimana paham Qadiriyyah
datang ke Indonesia. Tetapi Naguib al-Attas memberitahukan bahwa penyair Hamzah
Fansuri (Sumatera Utara) adalah pengikut Thariqat Qadiriyyah.
Telah diketahui, bahwa rujukan pengikut Qadiriyyah adalah Syekh Abd al-Qâdir al-Jaylânî, sebagaimana ditemukan dalam puisi Fansuri, yang berdomisili di Aceh pada pertengahan abad 16. Sebagai tambahan, dalam prosa Fansuri tertulis Syekh Sufi terkenal seperti Abû Yazid al-Bustamî, Junayd al-Baghdâdi, Manshûr al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Ibn Arabi, Jami Attar, dan beberapa Syekh lainnya.
Diungkapkan bahwa orang pertama yang memperkenalkan Qadiriyyah adalah Syekh Yusuf Makassar (1626-1699). Guru Qadiriyyahnya, Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad al-Hamid, seorang imigran dari Gujarat bersama pamannya Nur al-Dîn al-Raniri. Di Yaman, Syekh Yusuf belajar ajaran Naqshabandiyyah dari Syekh terkenal dari Arab, Muhammad Abd al-Baqi. Sufi lainnya dari Aceh, Abd al-Rauf al-Sinkili, yang belajar di Madinah pada pertengahan abad 17 di bawah bimbingan Syekh Ahmad al-Qushashi dan Ibrahim al-Qurani, dimana mereka merupakan Guru Paham Qadariyyah.
Lombard menginformasikan kepada kita, asal muasal Thariqat Naqsabandiyyah di Indonesia, ditunjukkan dengan pernyataan L.W.C van den Berg; ketika dia datang aktivitas Thariqat Naqsabandiyyah telah ada di Aceh dan Bogor, di mana dia menyaksikan dzikir Naqsabandiyyah sebagai aktivitas utama. Kemudian dia menggambarkan kedatangan Thariqat Naqsabandiyyah di wilayah Medan, tepatnya di Langkat.
Penulis berikutnya menggambarkan bahwa Syekh Abd al-Wahhab Rokan al-Khalidi al-Naqshabandi memperkenalkan Naqsabandiyyah ke Riau. Setelah menghabiskan waktu selama 2 tahun di Malaysia dalam rangka berdagang, beliau pergi ke Makkah dan belajar di bawah bimbingan Syekh Sulaiman al-Zuhdi. Pada tahun 1845, beliau mendapatkan sertifikat dan kembali ke Riau kemudian mendirikan perkampungan Thariqat Naqsabandiyyah dengan nama Bab al-Salâm. Pada abad ke-19, Thariqat Naqshabandiyyah mempunyai cabang di Makkah, menurut Trimingham, salah satu Syekh Naqshabandiyyah dari Minangkabau (Sumatera Barat) juga aktif pada tahun 1845. Dari Makkah, Thariqat Naqshabandiyyah tersebar luas ke berbagai negara termasuk ke Indonesia, melalui jamaah haji setiap tahun. Kedua Thariqat tersebut muncul pada abad ke-7 dan 8 Hijriyyah (abad ke-12/13 Masehi).
Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syekh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi para pengikut kedua Thariqat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Survey tentang sejarah Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktek-praktek Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia. Selanjutnya, Syekh Sambas tidak mengajarkan kedua Thariqat ini secara terpisah, tetapi dalam satu kemasan (penggabungan kedua Thariqat).[]
Telah diketahui, bahwa rujukan pengikut Qadiriyyah adalah Syekh Abd al-Qâdir al-Jaylânî, sebagaimana ditemukan dalam puisi Fansuri, yang berdomisili di Aceh pada pertengahan abad 16. Sebagai tambahan, dalam prosa Fansuri tertulis Syekh Sufi terkenal seperti Abû Yazid al-Bustamî, Junayd al-Baghdâdi, Manshûr al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Ibn Arabi, Jami Attar, dan beberapa Syekh lainnya.
Diungkapkan bahwa orang pertama yang memperkenalkan Qadiriyyah adalah Syekh Yusuf Makassar (1626-1699). Guru Qadiriyyahnya, Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad al-Hamid, seorang imigran dari Gujarat bersama pamannya Nur al-Dîn al-Raniri. Di Yaman, Syekh Yusuf belajar ajaran Naqshabandiyyah dari Syekh terkenal dari Arab, Muhammad Abd al-Baqi. Sufi lainnya dari Aceh, Abd al-Rauf al-Sinkili, yang belajar di Madinah pada pertengahan abad 17 di bawah bimbingan Syekh Ahmad al-Qushashi dan Ibrahim al-Qurani, dimana mereka merupakan Guru Paham Qadariyyah.
Lombard menginformasikan kepada kita, asal muasal Thariqat Naqsabandiyyah di Indonesia, ditunjukkan dengan pernyataan L.W.C van den Berg; ketika dia datang aktivitas Thariqat Naqsabandiyyah telah ada di Aceh dan Bogor, di mana dia menyaksikan dzikir Naqsabandiyyah sebagai aktivitas utama. Kemudian dia menggambarkan kedatangan Thariqat Naqsabandiyyah di wilayah Medan, tepatnya di Langkat.
Penulis berikutnya menggambarkan bahwa Syekh Abd al-Wahhab Rokan al-Khalidi al-Naqshabandi memperkenalkan Naqsabandiyyah ke Riau. Setelah menghabiskan waktu selama 2 tahun di Malaysia dalam rangka berdagang, beliau pergi ke Makkah dan belajar di bawah bimbingan Syekh Sulaiman al-Zuhdi. Pada tahun 1845, beliau mendapatkan sertifikat dan kembali ke Riau kemudian mendirikan perkampungan Thariqat Naqsabandiyyah dengan nama Bab al-Salâm. Pada abad ke-19, Thariqat Naqshabandiyyah mempunyai cabang di Makkah, menurut Trimingham, salah satu Syekh Naqshabandiyyah dari Minangkabau (Sumatera Barat) juga aktif pada tahun 1845. Dari Makkah, Thariqat Naqshabandiyyah tersebar luas ke berbagai negara termasuk ke Indonesia, melalui jamaah haji setiap tahun. Kedua Thariqat tersebut muncul pada abad ke-7 dan 8 Hijriyyah (abad ke-12/13 Masehi).
Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah mempunyai peranan penting dalam kehidupan muslim Indonesia. Dan yang sangat penting adalah membantu dalam membentuk karakter masyarakat Indonesia. Bukan karena Syekh Ahmad Khatib Sambas sebagai pendiri adalah orang lokal (Indonesia) tetapi para pengikut kedua Thariqat ini ikut berjuang dengan gigih terhadap imperialisme Belanda dan terus berjuang melalui gerakan sosial-keagamaan dan institusi pendidikan setelah kemerdekaan.
Survey tentang sejarah Thariqat Qadiriyyah dan Naqshabandiyyah mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktek-praktek Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia. Selanjutnya, Syekh Sambas tidak mengajarkan kedua Thariqat ini secara terpisah, tetapi dalam satu kemasan (penggabungan kedua Thariqat).[]
Maulana Syekh Muhammad Nazim Adil telah menjelaskan bahwa setelah
terorisme, permasalahan terbesar umat manusia kedua adalah penyalahgunaan
narkotika oleh generasi muda (The Muslim Magezine, Spring 1999).
Permasalahan sosial ini bukan hanya dialami oleh bangsa Barat, tetapi juga
menimpa kalangan generasi muda seluruh dunia. Walaupun jumlah korban narkoba di
negara-negara Asia tidak sebesar di Barat, tetapi permasalahan ini menarik
perhatian yang sangat serius bagi Mbah Anom untuk mendirikan Pondok Inabah,
pusat rehabilitasi korban narkoba dengan dzikir sebagai obatnya.
Metodologi Mbah Anom didasarkan pada hasil pengalaman spiritual beliau sebagai seorang sufi dan kepercayaannya bahwa dzikrullah mengandung pencahayaan/penerangan, karakter khusus dan rahasia yang dapat mengobati muslim yang mempercayainya. Hal ini didasarkan pada firman Allah: "Ingatlah pada-Ku, maka Aku akan mengingatmu". Jasa dan keuntungan dari dzikir di Pondok Pesantren Suryalaya dapat dirasakan sebagian masyarakat yang telah pergi berobat ke sana.
Penelitian terhadap metodologi Mbah Anom pernah dilakukan Dr. Emo Kastomo pada tahun 1989. Dia melakukan evaluasi secara random terhadap 5.929 orang pasien di 10 Pondok Inabah. Dan hasilnya, 5.426 orang sembuh, 212 orang dalam proses menuju sembuh, dan 7 orang pasien meninggal dunia.
Ada tiga keikutsertaan pengikut Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah dalam usaha mancapai Indonesia merdeka, yaitu: Pertama, keikutsertaan para Syekh dan haji di Banten pada revolusi Juli 1888. Dilaporkan, Syekh Abd al-Karim Banten tidak tertarik dengan akivitas politik, namun penggantinya Haji Marzuki lebih berpikiran reformis dan sangat antiBelanda. Walaupun Thoriqah tidak memimpin dalam revolusi, tetapi Belanda khawatir dengan pengaruhnya, dan sebagian besar diantara mereka meyakini, secara umum pengikut sufi khususnya Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah merupakan organisasi yang mempunyai tujuan untuk mengalahkan kekuatan kolonial.
Kedua, perlawanan yang dilakukan oleh suku Sasak, pengikut Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah Syekh Guru Bangkol. Belanda mempertimbangkan, Thoriqah merupakan faktor terpenting timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Walaupun penasehat Pemerintah Belanda Snouck Hurgrounje memberikan masukan bahwa terlalu berlebihan untuk menilai Thariqat sebagai usaha politik untuk melawan Belanda, pendapatnya tersebut tidak dindahkan sampai muncul Syarikat Islam, sebuah organisasi politik yang berdiri pada tahun 1911.
Ketiga, sekarang di Jawa ada tiga cabang terbesar Thoriqah Qadiriyah Naqshabandiyah, yaitu Rejoso, Mranggen, dan Suryalaya, masing-masing memberikan dukungan terhadap partai-partai politik, di mana beberapa di antara mereka terlibat aktif dalam partai politik.
Pada tahun 1957, Jam'iyyah Ahl Thariqah Mu'tabarah didirikan Nahdlatul Ulama, yang pada saat itu juga berbentuk partai. Tujuannya adalah untuk menyatukan semua kekuatan Thariqat dan memelihara silsilah yang dimulai dari Nabi Muhammad Saw. Jam'iyyah ini memelihara dan mengajarkan ajaran tasawuf dari 45 kekuatan Thoriqah yang pernah ada pada tahun 1975. Syekh Mustain Romly dari Rejoso diangkat sebagai pimpinan Jam'iyyah ini. Pada tahun 1979, ketika Syekh Mustain Romli merubah afiliasi politiknya dari Partai Persatuan Pembangunan ke Golkar, para Ulama mendirikan Jam'iyyah Ahl al-Thariqah al-Nahdliyyah.
Pimpinan Jam'iyyah ini adalah Syekh Haji DR. Idham Kholid, dimana pada saat itu pernah menyambut kedatangan Syekh Muhammad Hisham Kabbani dari Naqsabandi Amerika Serikat pada bulan Desember 1977. Syekh Hisham Kabbani juga datang kemabali ke Indonesia ke acara the International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang diselenggarkan Nahdlatul Ulama Februari 2004.[]
Meskipun ada sementara
pendapat bahwa agama Islam sudah masuk di Indonesia pada abad ke-7/8 M, namun
berdasarkan bukti-bukti historis yang kuat, kelompok-kelompok masyarakat Islam
baru berkembang sejak abad ke-13 M, yaitu abad perkembangan tarekat yang pesat
di Dunia Islam. Akan tetapi, sampai sekarang belum jelas bagaimana peranan
tarekat-tarekat dalam penyiaran Islam di Indonesia pada masa pertama
penyebarannya.
Secara terpisah, Tarekat Qadiriyyah
sudah mulai menyebar ke Indonesia pada abad ke-16 M. Menurut Rinkas, Syekh
Hamzah Fansuri adalah seorang pengikut tarekat Qadiriyyah dan berusaha
menyebarkannya ke daerah-daerah yang dikunjunginya sampai ke Jawa. Sebaliknya
Tarekat Naqsyabandiyyah menurut Trimingham masuk ke Indonesia melalui
Mekah. Pada tahun 1840 M, seorang Syekh berasal dari Minangkabau diresmikan
menjadi pemimpin tarekat Naqsyabandiyyah yang pertama untuk Indonesia.
Selanjutnya, Tarekat Naqsyabandiyyah berkembang pesat di Nusantara. Menurut Hawash
Abdullah ada dua versi tarekat Naqsyabandiyyah yang tersebar di kawasan
ini, yaitu Naqsyabandiyyah al-Khalidiyah yang dipelopori oleh Syekh Ismail ibn
Abdillah Al-Khalidi dan Naqsyabandiyyah Muzhariyah yang dipelopori oleh Sayid
Muhammad Saleh al-Zawawi. Di Jawa pada abad ke-19 menurut Kartono Kartodiharjo,
tarekat Naqsyabandiyyah merupakan tarekat yang paling banyak pengikutnya
melebihi tarekat-tarekat Qadiriyyah dan Syatariyyah.
Penyebaran Tarekat Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah (TQN) diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu sejak
tibanya kembali murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi di tanah air. Di
Kalimantan Barat, daerah asal Syekh Khatib Sambas, TQN disebarkan oleh dua
orang muridnya; Syekh Nuruddin (berasal dari Filipina) dan Syekh Muhammad Sa'ad
(putra asli Sambas). Karena penyebaran tarekat ini tidak melalui semacam
lembaga pendidikan formal seperti pesantren, maka TQN hanya tersebar di
kalangan orang awam sehingga tidak memperoleh kemajuan yang berarti. Lain
halnya di pulau Jawa, TQN disebarkan melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan
dan dipimpin oleh para pengikutnya, maka perkembangannya pun pesat sekali
sehingga kini merupakan tarekat yang paling besar dan berpengaruh dikawasan
ini.
Syekh Abdul Karim dari Banten merupakan
ulama berjasa dalam penyebaran TQN di Jawa. Dia murid kesayangan Syekh Ahmad
Khatib al-Sambasi pendiri TQN di Mekah. Dialah yang diangkat gurunya (Khatib
Sambas) untuk menggantikan kedudukan sebagai pemimpin tertinggi Tarekat
Qadiriyyah di kota suci Mekah sepeninggalnya pada tahun 1875 M. Syekh Abdul
Karim pun mematuhi pengangkatan tersebut dan dia pun berangkat ke Mekah pada
tahun 1876 M.
Syekh Khatib Sambas memang banyak
mempunyai murid yang berasal dari Nusantara. Karenanya, TQN tersebar di
berbagai daerah seperti; Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura dan
Banten. Kecuali Madura, semua pengikut TQN di daerah-daerah tersebut mendapat
bimbingan dari Syekh Abdul Karim. Di Madura pemimpin TQN adalah Syekh
'Abdadmuki, putra asli.
Syekh Abdul Karim tiba kembali ke
Banten pada awal tahun 1870-an, sebelumnya dia mampir di Singapura dalam
perjalanan pulang dari Mekah setelah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas.
Setibanya di Banten dia mendirikan pesantren, yang sekaligus dijadikan pusat
penyebaran TQN di daerah trsebut. Karenanya, tarekat Qadiriyyah yang diduga
sudah ada di Banten sejak ke-16 M dengan kedatangan Syekh Hamzah Fansuri di
daerah ini, mendapat angin segar sehingga TQN berkembang pesat. Malah
kedatangan Syekh Abdul Karim di Banten juga berhasil mempersatukan para ulama
dan pesantren-pesantren di daerah tersebut dan mengobarkan semangat anti
penjajahan, yang akhirnya bermuara pada pemberontakan rakyat Banten di Cilegon
pada tahun 1888 M yang terkenal itu. Dia dianggap sebagai salah seorang dari
tiga ulama yang berperan dalam mencetuskan pembrontakan rakyat tersebut
meskipun pada tahun itu dia berada di Mekah dalam statusnya sebagai pemimpin
tertinggi Tarekaot Qadiriyyah Naqsyabandiyyah menggantikan gurunya Syekh Khatib
Sambas.
Menurut Dhofier, lima pondok pesantren
di Jawa yang sekarang menjadi pusat penyebaran TQN di Indonesia, semuanya
menelusuri silsilahnya kepada Syekh Abdul Karim. Kelima pondok pesantren
tersebut adalah;
- Pesantren Pegentongan di Bogor (Jawa Barat)
- Pesantren Suryalaya di Tasimalaya (Jawa Barat)
- Pesantren Mranggen di Semarang (Jawa Tengah)
- Pesantren Rejoso di Jombang (Jawa Timur)
- Pesantren Tebuireng di Jombang (Jawa Timur)
Adapun pesantren Suryalaya didirikan
oleh Syekh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad pada tanggal 7 Rajab 1323 H (5
September 1905 M). Beliau menerima TQN dari gurunya, Syekh Ahmad Tholhah di
Cirebon, yang menerima dari Syekh Abdul Karim Banten. Setelah merasa tua dan
uzur Syekh Abdullah Mubarak menyerahkan pimpinan pesantren dan TQN kepada putra
beliau; Syekh A. Sahahibilwafa Tadjul 'Arifin (yang terkenal dengan sebutan;
Abah Anom), pemimpin pesantren Suryalaya sekarang ini. Pada masa
kepemimpinan beliau inilah TQN menyebar luas ke seluruh pelosok Indonesia,
malah sampai ke berbagai negara Asean, seperti; Singapura, Malaysia dan Brunei
Darussalam.
Demikianlah asal-usulnya, di kota suci
umat Islam Mekah al-Mukarramah, Tarekat Qadiriyyah dan Tarekat Naqsyabandiyyah
menyatu dalam diri seorang mursyid dengan nama baru Tarekat Qadiriyyah
Naqsyabandiyyah (TQN). Dari kota suci inilah pula tarekat baru tersebut
memancar ke Nusantara, tanah air tercinta.[qalbu.net]
Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah disingkat TQN secara substansial
merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek
kehidupan. Dan tujuan TQN adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber
utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke
jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia
dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).
Dalam tradisi tarekat,
tujuan TQN dilukiskan secara jelas dalam do'a yang diucapkan setiap orang yang
hendak melakukan amalan yang maha penting, yaitu dzikrullah. Do'a dimaksud
adalah sebagai berikut, "Tuhanku,
engkaulah yang menjadi tujuanku dan keridhoan-Mu yang aku cari, berikanlah
kepadaku kemampuan mencintai-Mu dan Ma'rifah kepada-Mu".
Dalam doa awal dzikrullah, sebagaimana
tertulis di atas, terkandung substansi ajaran Islam secara mendasar: Bahwa
Allah-lah yang menjadi maksud dan tujuan akhir hidup manusia. Dalam doktrin
teologi Islam dijelaskan bahwa manusia pada awal kejadiannya berasal dari
Allah, kini sedang berada di bumi Allah dan akhirnya akan kembali kepada Allah.
- Betul semua manusia akan kembali kepada Allah, tetapi
apakah ia akan kembali kepada ridha Allah atau kepada azab Allah.
- Dalam doa tersebut selanjutnya dijelaskan bahwa
keridhoan Allah-lah (mardhotillah) yang hendak dicari. Dalam
aplikasinya, keridhoan Allah hanya dapat dicari dengan taqarrub. Taqarrub
ila Allah artinya mendekatkan diri kepada Allah melalui dzikrullah,
baik dzikrullah dalam arti umum maupun dalam arti khusus. Adapun yang
termasuk dzikrullah yang disebut pertama: misalnya shalat, zakat, puasa,
haji, membaca Al-Qur'an atau berbagai aktivitas manusia yang dasarnya
tauhidullah, berorientasi kepada ridho Allah dan dilakukan secara ikhlas
karena Allah. Sedangkan yang dimaksud dzikrullah dalam arti khusus adalah
mengucapkan kalimat tayyibah secara lahir batin, dengan penuh penghayatan,
tadharru dan khusuk dibawah bimbingan seorang mursyid melalui talqin. Itu
bisa dilakukan secara perorangan (munfarid) ataupun secara berjama'ah;
diucapkan secara jahr atau khafi, dengan tujuan berada sedekat mungkin
disisi Allah. Nabi Saw bersabda: "Jadilah
kamu bersama Allah. Jika tidak, beradalah bersama orang yang bersama
Allah".
- Dalam upaya menggapai maksud yang begitu luhur tadi,
yaitu keridhoan Allah, seorang "salik" hendaklah berdo'a
dengan do'a sebagai terlukis dalam awal ibadah dzikir tadi, "Berilah
aku kemampuan, ya Allah untuk mencintai-Mu dan ma'rifah kepada-Mu". Sebab
tanpa hidayah dan pertolongan Allah, mustahil seseorang mempunyai
kemampuan untuk bertaqorrub kepada-Nya, lebih-lebih dapat sampai kepada
keridhoan-Nya. TQN, sebagai ajaran, bukanlah sesuatu yang baru. Ia adalah
ajaran yang kemunculannya identik dengan kemunculan Islam itu sendiri,
yaitu "Thauhidullah", mengesakan Allah. Doktrin ini
kemudian ditanamkan oleh Mursyi Al-Awwal, yaitu Nabi Saw, didalam hati
setiap sahabat, lalu dihayati dirasakan dan buahnya dibuktikan dalam
aktifitas kehidupan kesehariannya secara seimbang. Dalam term tasawuf,
orang yang mampu mengaplikasikan tauhidullah dalam kehidupannya secara
seimbang disebut Insan Kamil (Manusia Paripurna).
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam
TQN, yaitu kesempurnaan Suluk, Adab Murid terhadap Mursyid, Dzikir dan Muraqah.
Tetapi inti ajaran TQN adalah Muroqobah artinya mendekatkan diri kepada Allah
dengan berbagai amalan dan riyadhah; yang paling prinsip adalah dengan cara
berdzikir, sebagaimana sabda Imam Ali "cara
terbaik dan tercepat untuk sampai kepada Allah adalah Dzikrullah". Dzikir
dalam TQN dilakukan setelah melaksanakan Ibadah Wajibah.
Ibadah Wajibah merupakan penjabaran
Syari'ah sedangkan dzikir merupakan pengamalan aspek bathin dari syari'ah yang
dalam tasawuf disebut thoreqat. Syari'at dan Tarekat keduanya diamalkan secara
seimbang dalam upaya mencari hakikat. Ketika para sahabat bertanya kepada
Abdullah bin Abbas mengenai interpretasi firman Allah, "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku; nanti Aku pun
ingat kepadamu". Ia Menjawab: "Dzikirlah kamu sekalian kepada-Ku dengan jalan Taat kepada-Ku;
nanti Aku ingat kepadamu dengan pertolongan-Ku". Senada dengan
pernyataan diatas, Sa'id bin Jubair mengatakan: "Ingatlah
kepada-Ku dengan cara taat kepada-Ku; Aku pun ingat kepadamu dengan
ampunan-Ku", sementara sebagian sahabat berpendapat; "Dzikirlah kalian kepada-Ku sewaktu mendapatkan
Nikmat dan Kebahagiaan, Niscaya Aku ingat kepadamu ketika kamu dalam kesulitan
dan cobaan".
Mengapa Dzikir begitu prinsip dalam
TQN? Jawabannya, betapa banyak ayat Al-Qur'an yang menguatkan kedudukan dzikir;
bahwa dzikir merupakan perkara yang paling besar. Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya Sholat harus bisa mencegah dari
perbuatan Fakhsyah dan Munkar, dan sesungguhnya dzikir kepada Allah Swt lebih
besar dan Allah Swt amat mengetahui apa yang kamu perbuat". (QS. Al
Ankabut: 45)
Menurut orang-orang yang ma'rifat,
paling tidak ada empat prinsip tentang interpretasi ayat diatas;
- Pertama, Sesungguhnya dzikir kepada Allah lebih besar
daripada segala sesuatu. Ia adalah ketaatan yang paling utama; yang
dimaksud taat disini adalah menegakan dzikir kepada Allah, sedangkan
dzikir adalah rahasia ketaatan dan daya ketaatan itu sendiri.
- Kedua, Sesungguhnya kamu sekalian, kaum muslimin, jika
ingat kepada-Nya, maka Allah pun ingat kepadamu; sedangkan dzikir Allah
kepadamu lebih besar daripada dzikir kamu kepadanya.
- Ketiga, Sesungguhnya Dzikir kepada Allah lebih besar
daripada tetapnya "Fakhisyah" dan "kemungkaran,
bahkan jika dzikir dibaca secara sempurna, ia akan dapat menghilangkan
segala kesalahan dan maksiat.
- Keempat, Sesungguhnya amal sholeh, apabila ingin
diterima oleh Allah, harus diakhiri dengan dzikir dan pujian. Menurut
Pangersa Abah, sebagai dikutip Djuhayah S. Praja, Taqarrub illa allah
merupakan inti ajaran tasawuf (TQN) dengan cara mensucikan jiwa (tasfiyat
al qulub). Dengan hati yang suci seorang Salik mungkin dapat meihat
Tuhannya.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa TQN
adalah salah satu metode untuk mencapai tujuan tasawuf, tujuan dari suatu inti
keberagamaan, dengan kata lain, Abah memandang TQN bukan satu-satunya jalan
pencapai tujuan "ini berarti" demikian analisis djuhaya, "Abah
menghormati tarekat-tarekat yang lain". Secara vertikal, TQN membawa
manusia kepada Tuhan dan secara seharusnya hidup secara bersama dalam sosial
kemasyarakatan. Tanbih mengandung ajaran Moral, menyangkut pelbagai kehidupan.
Pandangan TQN menyangkut hubungan dengan Negara, misalnya, dapat dilihat dalam
uraian tanbih sebagai berikut: "Adapun kami
tempat bertanya tentang Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah, menghaturkan
dengan tulus ikhlas, wasiat kepada segenap murid-murid; berhati-hatilah dengan
segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan peraturan Agama
maupun Negara. Insafilah, jangan terpengaruh oleh godaan syaitan, waspadailah
akan jalan penyelewengan terhadap perintah Agama maupun Negara, agar dapat
meneliti diri kalau tertarik oleh biskan iblis yang selalu menyelinap dalam
hati sanubari kita".
Pandangan TQN mengenai Hubungan Sosial
Kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim maupun dengan non muslim, dapat
dilihat dalam bagian uraian tanbih berikut ini:
- Terhadap orang-orang yang lebih tinggi daripada kita
baik dhohir maupun batin harus kita hormati, begitulah seharusnya, hidup
rukun saling harga-menghargai;
- Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam
segala-galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus
bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah Agama
maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan,
kalau-kalau kita terkena firman-Nya: "'Adzabun
Alim", yang berarti duka nestapa untuk selama-lamanya dari
Dunia sampai Akhirat (badan payah, hati susah);
- Terhadap orang-orang yang keadaannya dibawah kita,
janganlah hendak menghinakannya atau berbuat tidak senonoh, bersifat
angkuh. Sebaliknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka
merasa senang dan gembira hatinya, jangan sampai merasa takut dan liar,
bagaikan tersayat hatinya, sebaliknya harus dituntun dibimbing dengan
nasehat yang lemah lembut yang akan memberi keinsyafan dalam menginjak
jalan kebajikan;
- Terhadap fakir-miskin, harus kasih sayang, ramah-tamah
serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita
sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan
kekurangan, oleh karena itu janganlah acuh tak acuh, hanya diri sendirilah
yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukannya kehendak
sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.
Demikianlah sesungguhnya sikap manusia
yang penuh keadaran meskipun kepada orang asing karena mereka itu masih
keturunan Nabi Adam As. Mengingat ayat 70 Surat al-Isra yang artinya: "Sangat Kami muliakan keturunan Nabi Adam dan Kami
sebarkan segala yang berada didarat dan lautan, juga Kami mengutamakan mereka
lebih utama dari mahluk lainnya". Kesimpulan dari ayat ini
bahwa kita sekalian seharusnya saling harga menghargai, jangan timbul
kekecewaan, mengingat surat al Maidah yang artinya: "Hendaklah
tolong menolong dengan sesama dan dalam melaksanakan kebajikan dan ketakwaan
dengan sungguh-sungguh terhadap Agama maupun Negara, sebaliknya jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah Agama maupun
Negara".
Keempat materi tanbih diatas
menjelaskan kepada kita bagaimana model ideal interaksi antar kita dengan orang
yang lebih tinggi dari kita, dengan sesama dalam arti yang sederajat dalam
segalanya, dengan orang yang ada dibawah kita dan dengan fakir miskin. Tanbih
menjelaskan bahwa kedamaian lahir bathin akan terwujud ditengah-tengah
masyarakat manakala masing-masing individu berpegang teguh terhadap etika
sosial; sebagaimana digambarkan dalam tanbih tadi.
Dalam sebuah hadist dijelaskan: "Bukanlah dari golonganku orang yang tidak sayang
kepada yang ada dibawahnya dan tidak menaruh hormat kepada orang yang ada
diatasnya". Lebih dari itu, Tanbih juga membuat patokan
bagaimana seharusnya sikap kita dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dengan
orang asing, baik yang seagama dengan kita maupun yang tidak seagama. Kita
harus tetap saling hormat menghormati, harga menghargai Tepo Seliro.
Menyangkut Hubungan dengan Non Muslim
lebih jelas lagi, tanbih menegaskan seperti berikut: "Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing,
mengingat surat Al Kafirun ayat 6: 'Agamamu untuk kamu, Agamaku untuk ku',
maksudnya jangan terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai,
saling harga menghargai, tapi janganlah ikut campur". Tanbih
menggariskan adanya toleransi beragama, sejauh tidak melanggar etika teologis.
Jangan karena alasan toleransi, keyakinan di korbankan.
Oleh karena itu, dalam urusan agama janganlah kita ikut-ikutan, tetapi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi maupun politik, kita menyatu secara damai dan toleran. Selanjutnya Tanbih menjelaskan, "Cobalah renungkan pepatah leluhur kita: hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari perbuatan diri sendiri". Pernyataan Tanbih diatas, disamping mengandung ajaran moral dan akhlak, mengandung pula ajaran teologi. Ketika seseorang dituntut untuk bersikap dan berprilaku terhadap fakir miskin, maka ia harus bersikap jabbariyah. Akan tetapi, ketika melihat kenyataan kehancuran sekelompok manusia yang tidak bersyukur, ada tuntutan untuk bersikap khodariyah. Kehancuran dan kehinaan manusia karena ulahnya sendiri, bukan kehendak Allah.
Oleh karena itu, dalam urusan agama janganlah kita ikut-ikutan, tetapi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, ekonomi maupun politik, kita menyatu secara damai dan toleran. Selanjutnya Tanbih menjelaskan, "Cobalah renungkan pepatah leluhur kita: hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna, karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari perbuatan diri sendiri". Pernyataan Tanbih diatas, disamping mengandung ajaran moral dan akhlak, mengandung pula ajaran teologi. Ketika seseorang dituntut untuk bersikap dan berprilaku terhadap fakir miskin, maka ia harus bersikap jabbariyah. Akan tetapi, ketika melihat kenyataan kehancuran sekelompok manusia yang tidak bersyukur, ada tuntutan untuk bersikap khodariyah. Kehancuran dan kehinaan manusia karena ulahnya sendiri, bukan kehendak Allah.
Bagian akhir tanbih menyatakan: "Oleh karena demikian, hendaklah segenap murid-murid
bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan lahir dan
batin dunia maupun akhirat, supaya hati tentram. jasad aman, jangan sekali-kali
timbul persengketaan, tidak lain tujuannya: Budi utama jasmani sempurna (
Cageur Bageur ). Tidak lain amalan kita, Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyyah,
amalkan sebaik-baiknya guna mencapai kebajikan, menjauhi segala kejahatan lahir
batin yang bertalian dengan jasmani maupun rohani, yang selalu diselimuti
bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syetan". Kebahagiaan lahir
batian, bagi manusia beriman, khususnya para ikhwan TQN, adalah mengamalkan
ajaran TQN secara sungguh-sungguh. Inti ajarannya, sebagai terlah diungkap
dalam bab sebelumnya adalah dzikir. Segala amalan yang telah baku di lingkungan
TQN yang sifatnya nafilah disebut dzikir. Kumpulan dzikir-dzikir yang biasa
dibaca setiap kali khataman telah dituangkan oleh Mursyid kita dalam sebuah
risilah yang di beri nama Uqud Al-juman.[qalbu.net]
DISARIKAN OLEH USTADZ PARDIRO AS SLEMANY
Kami diantara pengamal thariqah naqsabandi tapi , masih ada kelesuan dalam mengamalkan ismu tdzat
BalasHapusSujud syukur seluas langit dan bumi....info tentang thoriqoh qodiriah naqsyabandiyah ini begitu indah...layak untuk dibaca.tks ya
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya ingin belajar, tapi saya tidak tau dimana saya harus cari mursyid di makassar, bagi yang tau tempatnya tolong tunjukkan saya.
BalasHapusSaya juga ingin mengikuti pengajian di cilegon dimana alamatx, tksh
BalasHapus