MUQODDIMAH
Di penghujung bunga rampai pembahasan
kehidupan kaum wanita, -mulai dari masalah aqidah, ibadah, muamalah dan rumah
tangga serta pembahasan penting lainnya-, yang dengan itu semua, insya Alloh kita mengetahui bahwa Islam
telah mengatur kehidupan kaum hawa ini secara sempurna, dan hal ini tidaklah
mengherankan karena Alloh عزّوجلّ telah berfirman:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi
kalian agama kalian, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku rela
Islam sebagai agama kalian.” (QS. al-Maidah [5]: 3)
Berkata Abu Dzar رضي الله
عنه: "Rosululloh صلي الله
عليه وسلم meninggalkan kami, dan tidaklah terdapat
seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di angkasa melainkan beliau telah
menyebutkan ilmunya kepada kami." (HR. Thobroni dalam al-Kabir 1647 dengan sanad
shohih)
Dan merupakan sesuatu yang sudah mapan dalam
aqidah kaum muslimin, bahwa syariat Alloh dan Rosul-Nya pasti akan membawa
manfaat yang sangat besar, tak terkecuali syariat yang diterapkan pada kaum
wanita, semua itu kalau dijalankan dengan sebenarnya pasti akan membawa hikmah
yang tak terhingga untuk kehidupan mereka sendiri dan untuk kehidupan alam
semesta secara umum. Bacalah firman Alloh سبحانه و
تعالي:
وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتَ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُوْلَـئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلاَ يُظْلَمُونَ نَقِيراً
“Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan
yang sholih dari kalangan laki-laki maupun wanita dan dia dalam keadaan beriman,
maka mereka akan masuk ke dalam surga serta tidak didholimi sedikitpun." (QS.
an-Nisa' [4]: 124)
Sejarah adalah bukti yang paling kuat akan hal
tersebut, kalau kita membuka lembaran-lembaran sejarah, niscaya kita akan
temukan ratusan bahkan ribuan atau mungkin jumlah di atas itu yang menggambarkan
bagaimana seorang wanita telah mencapai derajat yang sangat mulia di mata
kaumnya bahkan di mata pembesar mereka di bawah naungan ajaran Islam yang
mulia.
Hal ini sangat penting untuk disampaikan,
terutama pada hari-hari ini, ketika kaum muslimin secara umum dan wanitanya
secara khusus banyak yang mengagumi peradaban barat yang penuh glamour tapi
sebenarnya tak lebih dari sekedar fatamorgana belaka.
Sekarang marilah kita simak sedikit gambaran
yang dipaparkan oleh sejarah tentang keagungan wanita di bawah naungan syariat
Islam.1
1 Kisah-kisah di bawah ini dinukil dari risalah Inayatun Nisa' bil
Haditsin Nabawi oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dengan beberapa tambahan dari
referensi lainnya
KAUM WANITA MENJADI
SUMBER ILMU BAGI KAUMNYA
Tsumamah bin Huzn al-Qusyairi berkata: "Saya
bertemu dengan Aisyah رضي الله عنها dan saya bertanya kepada beliau tentang nabidz (semacam rendaman buah), maka
Aisyah memanggil seorang budak wanita dari Ethiopia seraya berkata: 'Tanyakanlah
kepada wanita ini, karena dia pernah membuatkannya untuk Rosululloh صلي الله عليه وسلم.'" (HR.
Muslim)
Dari Thowus رحمه
الله berkata: "Saya bersama Ibnu Abbas رضي الله عنهما, tiba-tiba Zaid bin Tsabit
رضي الله عنه berkata:
'Apakah engkau berfatwa bahwa seorang wanita yang sedang haid boleh pulang
(meninggalkan ibadah haji) sebelum melakukan thowaf Wada'?' maka Ibnu Abbas
menjawab: "Kenapa tidak? tanyakanlah masalah ini pada Fulanah seorang wanita
dari kalangan wanita anshor, apakah Rosululloh memerintahkannya untuk thowaf
Wada' dulu?" kemudian suatu ketika Zaid balik lagi kepada Ibnu Abbas seraya
berkata: "Engkau benar." (HR. Muslim)
Dari Abu Salamah berkata: "Ada seseorang yang
datang kepada Ibnu Abbas رضي الله عنهما dan saat itu Abu Huroiroh رضي الله
عنه sedang berada di dekatnya, lalu seseorang tadi
berkata: 'Beritahukanlah kepadaku tentang hukum seorang wanita yang melahirkan
anak setelah empat puluh hari dari saat kematian suaminya?' Maka Ibnu Abbas
berkata: 'Dia wajib menjalani masa iddah dengan waktu yang paling
panjang.1 Maka saya berkata: 'Wanita yang hamil, masa iddahnya adalah sampai
melahirkan.'" Berkata Abu Huroiroh: "Saya setuju dengan Abu Salamah." Maka Ibnu
Abbas mengutus Kuraih kepada Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya tentang
masalah ini, maka Ummu Salamah berkata: "Suami Subai'ah al-Aslamiyyah terbunuh
sedangkan saat itu beliau sedang hamil, lalu empat puluh hari kemudian dia
melahirkan, dan diapun dilamar oleh seseorang, maka Rosululloh menikahkannya.
Dan di antara yang melamarnya adalah Abu Sanabil." (HR. Bukhori
Muslim)
1 Maksudnya bahwa iddah wanita hamil adalah
sampai melahirkan anaknya, sedangkan iddah bagi wanita yang ditinggal wafat
suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Maka kalau bertemu keduanya yaitu
kalau seorang suami wafat meninggalkan istri yang sedang hamil, lalu bagaimana
dengan iddahnya? Madzhab Ibnu Abbas adalah masa iddahnya waktu yang terpanjang,
dalam artian, kalau saat suami meninggal dunia, istrinya masih hamil satu bulan
maka berarti iddahnya sampai melahirkan, sedangkan kalau suami meninggal dunia
saat sudah hamil sembilan bulan, maka iddahnya empat bulan sepuluh hari. Dan
yang rojih dalam masalah ini adalah masa iddahnya sampai melahirkan, baik
waktunya pendek atau panjang.
SEBAGIAN ULAMA KIBAR
BERGURU KEPADA WANITA
Banyak sekali para ulama sejak zaman sahabat
sampai saat ini yang berguru pada wanita, di antaranya adalah:
- Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه
Siapa yang tidak mengenal Ali bin Abi Tholib
رضي الله عنه? Siapa yang
tidak mengenal kedekatannya dengan Rosululloh صلي
الله عليه وسلم. Bukankah dia adalah ahlul bait
sekaligus menantunya? Dan siapa pula yang tidak mengenal ilmu dan hikmahnya?
Meskipun demikian, dia pernah berguru kepada seorang wanita yaitu Maimunah binti
Sa'd seorang pelayan Rosululloh صلي الله عليه
وسلم.
- Imam Malik bin Anas رحمه الله
Dia pernah berguru dan meriwayatkan hadits
dari Aisyah binti Sa'd bin Abi Waqqosh.
Berkata al-'Ijli: "Dia adalah seorang wanita
dari kalangan tabi'in asal kota Madinah dan dia adalah seorang yang
tsiqoh."
- Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله
Beliau meriwayatkan hadits dari Ummu Umar
binti Hasan bin Zaid ats-Tsaqofi
- Al-Hafidz Ibnu Asakir رحمه الله
Di zamannya, beliau adalah seorang yang
paling terpercaya dan paling luas pengetahuannya dalam bidang ilmu hadits.
Beliau berguru pada seribu dua ratus ahli hadits, di antara gurunya tersebut
terdapat delapan puluh lebih wanita.
- Imam Dzahabi رحمه الله
Adakah kehormatan yang lebih bagi seorang
wanita, dibandingkan dengan tatkala seorang imam sebesar Imam Dzahabi, harus
menyesal tatkala tidak sempat menimba ilmu darinya? dialah Ummu Muhammad
Sayyidah binti Musa al-Mishriyyah.
Cermatilah kisah Imam Dzahabi ini: "Saya
sudah bepergian demi menemuinya, ternyata beliau meninggal dunia saat saya masih
berada di Palistina pada bulan Rojab tahun 695 H."
Imam Dzahabi juga berkata: "Saya sangat ingin
bertemu dengannya, maka saya pun berangkat menuju Mesir, dan sepengetahuanku
bahwa beliau masih hidup, ternyata tatkala saya masuk Mesir, beliau telah
meninggal dunia sepuluh hari yang lalu, beliau meninggal dunia pada hari Jum'at
6 Rojab dan saat itu saya masih berada di lembah Fahmah."
Dan masih banyak di antara pembesar ulama
lainnya yang menimba ilmu dari kaum wanita, misalnya Imam Ibnul Qoyyim, Ibnu
Hajar, al-Mundziri dan lainnya.
ZAMAN TIDAK PERNAH KOSONG DARI
PARA ULAMA KALANGAN WANITA
Zaman tidak akan pernah melupakan keagungan
Aisyah keutamaannya tidak terhitung, ilmunya tak terhingga, sehingga Imam Hakim
berkata: "Seperempat hukum syariat Islam diambil dari Aisyah."
Dan dengarkanlah persaksian para ulama di
zamannya:
Berkata Abu Musa al-Asy'ari رضي الله عنه: "Tidaklah para sahabat
Rosululloh kesulitan tentang sebuah masalah, lalu mereka bertanya kepada Aisyah,
kecuali pasti akan menemukan solusinya.
Berkata Masruq رحمه
الله: "Saya melihat pembesar sahabat Rosululloh
bertanya kepada beliau tentang faro'idl."
Berkata Urawah bin Zubair رحمه الله: "Saya tidak melihat orang yang
lebih mengetahui tentang ilmu agama, kedokteran dan sya'ir melebihi
Aisyah."
Berkata Ibnu Abdil Barr رحمه الله: "Aisyah adalah orang nomor
satu pada zamannya dalam tiga ilmu: ilmu agama, kedokteran, dan
sya'ir."
Pernah suatu ketika, Urwah bin Zubair
رحمه الله berkata kepada
Aisyah رضي الله عنها: "Wahai
ibuku, saya tidak heran dengan ilmu agamamu, saya akan katakan bahwa engkau
adalah istri Rosululloh صلي الله عليه وسلم, dan putri Abu Bakr رضي الله
عنه. Dan saya juga tidak heran dengan ilmumu tentang
sya'ir dan sejarah bangsa Arab, akan saya katakan bahwa engkau adalah putri Abu
Bakr yang merupakan orang yang paling tahu tentang itu semua, namun yang saya
heran adalah ilmumu tentang kedokteran, dari mana engkau mendapatkannya?" Maka
Aisyah menepuk pundaknya1 dan berkata: "Wahai Urwah,
Pada akhir hayatnya, Rosululloh sakit keras dan banyak sekali utusan dari
berbagai kabilah Arab yang mengunjunginya, lalu mereka memberikan resep pada
beliau dan sayalah yang mengurusi itu semua, maka dari situlah saya mendapatkan
ilmu kedokteran."
Jangan katakan kepadaku bahwa itu hanya
didapatkan oleh Aisyah رضي الله عنها saja. Tidak !!! Lihatlah pada kitab-kitab biografi ulama niscaya
akan kita temukan banyak sekali lainnya yang merupakan ulama wanita pada zaman
sahabat.
1 Urwah bin Zubair adalah keponakan Aisyah, karena ibu beliau adalah
Asma' binti Abu Bakr saudari Aisyah. Jadi Urwah adalah mahrom bagi
Aisyah.
ULAMA WANITA ZAMAN TABI'IN
Dari madrasah ummahatul mu'minin dan para
sahabat lainnya, lahirlah para ulama-ulama besar dari kalangan kaum wanita, di
antara mereka adalah: Amroh binti Abdurrohman al-Anshoriyyah
an-Najjariyyah.
Cukuplah sebagai simbol keagungannya, bahwa
imam sebesar Qosim bin Muhammad رحمه الله berkata kepada Ibnu Syihab: "Wahai anakku, saya melihatmu sangat
bersemangat menuntut ilmu, maukah saya tunjukkan kepadamu gudangnya ilmu?"
berkata Ibnu Syihab: "Iya," maka Qosim berkata: "Belajarlah pada Amroh, karena
dia dahulu berada satu rumah dengan Aisyah." Maka saya pun mendatanginya,
ternyata saya temukan dia bagaikan lautan yang tak bertepi."
Di antara mereka juga adalah Hafshoh binti
Sirin.
Berkata Iyas bin Muawiyyah (seorang qodli
tabi'in yang terkenal dengan kecerdasannya); "Saya tidak menemukan seorangpun
yang saya lebihkan di atas Hafshoh binti Sirin." Lalu orang-orang menyebutkan
Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin, maka Iyas berkata: "Bagiku tidak ada
yang lebih utama daripada Hafshoh."
Dan masih banyak lainnya.
ULAMA WANITA ABAD
KEDUA DAN KETIGA
Di abad ini,lahir para pembesar ulama dari
kalangan wanita, di antara mereka adalah: Abidah al-Madaniyyah. Berkata sebagian
ulama: "Dia meriwayatkan sepuluh ribu hadits."
Di antara mereka juga adalah: 'Ulayyah binti
Hasan, Nafisah binti Hasan bin Zaid dan banyak lainnya.
PARA ULAMA WANITA PADA
ZAMAN SETELAHNYA
Dan zaman pun berganti, namun tidak pernah
hilang kemuliaan kaum wanita dari lembaran-lembaran sejarahnya, akan tetapi
tidak mungkin ditulis semuanya. Hanya saja saya ingin menutupnya dengan seorang
wanita mulia pada abad ke-12 H.
Dia adalah Fathimah binti Hamd al-Fudhoili
al-Hanbali, dia adalah seorang wanita mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu
keislaman, banyak menulis kitab dengan tangannya sendiri, banyak mendapatkan
pengakuan dari para ulama hadits di zamannya, dia adalah seorang ahli hadits
yang sangat terkenal. Di akhir hayatnya dia menetap di Makkah al-Mukaromah, maka
para ulama datang kepadanya untuk menimba ilmu, begitu pula kaum wanita pun
berdatangan kepadanya. Dan ternyata orang-orang yang menimba ilmu kepada beliau
pun berubah menjadi orang-orang sholih yang taat menjalankan syariat agamanya
NASEHAT DAN PENUTUP
Wahai saudari-saudari muslimah!! Itulah
setitik air dari samudra sejarah yang berisikan wanita-wanita mulia. Tidakkah
para saudariku muslimah saat ini ingin meniru mereka, dan saya yakin merekalah
orang-orang yang tidak merugi bagi siapa yang menirunya. Mudah-mudahan Alloh
memberikan taufik kepada kita semua.
Kemudian, sebagai sebuah nasehat bagi para
saudara-saudaraku kaum laki-laki yang merupakan wali dan yang mengurusi
kehidupan mereka. Perhatikanlah firman Alloh Ta'ala:
قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“... jagalah diri kalian dan keluarga kalian
dari api neraka...”(QS. at-Tahrim [66]: 6)
dan tidak ada yang bisa menghindarkan
keluarga dari api neraka melebihi mengajarkan kepada mereka ilmu
syar'i.
Berkata Imam Ibnul Haj: "Wajib bagi setiap
orang untuk mengajari keluarganya masalah ilmu syar'i yang mereka butuhkan,
karena mengajar orang lain saja diperintahkan, maka mengajar orang-orang dekat
dan keluarganya lebih ditekankan lagi, karena merekalah orang yang disebutkan
dalam hadits Rosululloh:
كُلُّكُمْ
رَاعٍ َفَمَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap
kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Maka wajib baginya untuk segera mengajari
sesuatu yang paling penting dalam urusan agamanya, mulai dari masalah iman,
Islam, ihsan, bagaimana cara wudhu, mandi, tayamum juga bagaimana cara sholat
yang benar, serta semua perkara yang wajib diketahui oleh anggota keluarganya,
setelah itu baru mengajarkan perkara lainnya yang sunnah, mulai dari yang paling
penting kemudian yang di bawahnya." (Lihat al-Madkhol 1/209 dengan
diringkas)
Terutama pada zaman sekarang ini, ketika api
fitnah syahwat dan asap tebal syubuhat sudah sedemikian panas dan kelamnya, maka
seharusnya setiap orang sangat perhatian kepada diri dan keluarganya dari semua
yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam api neraka Jahannam.
Marilah sekarang kita lihat bagaimana yang
dilakukan oleh para ulama kita dahulu, sehingga dari rumah-rumah mereka terlahir
wanita-wanita agung.
Abu Nu'aim dalam Hilyah 2/167 dan adz-Dzahabi dalam
Siyar a'lamin Nubala 4/233
menceritakan tentang Sa'id bin Musayyib (beliau adalah Imam kota Madinah
terbesar zaman Tabi'in) yang enggan untuk menikahkan putrinya dengan Walid bin
Abdul Malik yang menjadi putra mahkota saat itu, ternyata beliau malah
menikahkannya dengan salah seorang muridnya. Dan dalam kisah tersebut
diceritakan bahwa tatkala keesokan harinya, suami putri Sa'id ingin keluar
rumah, maka istrinya berkata kepadanya: "Engkau mau kemana?" Suaminya menjawab:
"Mau menghadiri majlis ilmu Sa'id, saya ingin belajar." Maka istrinya berkata
kepadanya: “Duduklah, saya akan mengajarkan kepadamu ilmunya bapakku
Sa'id."
Demikian juga apa yang diceritakan tentang
Imam Malik, bahwa kalau ada seseorang yang membaca kitab al-Muwatho', lalu salah
atau menambahi huruf atau menguranginya, maka putri Imam Malik yang berada
dibalik pintu segera mengetuk pintu, maka Imam Malik segera berkata: "Ulangi,
hafalanmu tadi terdapat kesalahan."
Adakah keberhasilan yang lebih dibandingkan
putri Sa'id dan Malik, tatkala putri keduanya mampu mewarisi ilmu Sa'id bin
Musayyib dan Malik bin Anas.
Pada zaman kita sekarang, lihatlah Ummu
Abdillah binti Muqbil bin Hadi al-Wad'i'i, Ummu Abdillah binti Syaikh al-Albani
serta lainnya.
Jangan katakan bahwa wajar saja, lha wong mereka putrinya ulama, itu tidak
selamanya benar, karena ilmu bukan harta benda yang bisa diwarisi begitu
saja.
Alangkah bagusnya apa yang diceritakan oleh
al-Farwi: "Kami pernah duduk di majelis Imam Malik, dan saat itu putra beliau
keluar masuk majlis dan tidak mau duduk untuk belajar, maka Imam Malik menghadap
kami seraya berkata: "Masih ada yang meringankan bebanku, yaitu bahwa masalah
ilmu ini tidak bisa diwariskan."
Oleh karena itu kewajiban seseorang untuk
berjuang keras mendidik putri-putri mereka, memasukkannya ke pesantren-pesantren
yang mengajarkan al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafus Sholih serta
menikahkannya dengan laki-laki yang akan bisa menjaga agamanya serta mengajarkan
ilmu dan kebaikan kepadanya.
Alangkah agungnya apa yang diceritakan oleh
Syaikh Masyhur Hasan Salman: "Syaikh Jamil Zainu1 pernah bercerita kepadaku
bahwa tatkala beliau ingin menikahkan putrinya dengan salah satu saudara kami
dari Yordania, kata beliau: 'Ketika saya di masjid, maka saya duduk di bagian
paling belakang untuk melihat sholat para pemuda, sehingga perhatianku tertuju
kepada seorang pemuda yang paling baik sholatnya, paling khusyu' dan paling lama
berdirinya. Lalu saya mencarinya lagi saat sholat Shubuh dan Isya' sehingga saya
mendapatkan dia sebagai seorang pemuda yang rajin dan tidak malas. Lalu saya
mendatangi pemuda tersebut dan bertanya kepadanya: Apakah engkau sudah menikah?'
Dia menjawab: 'Belum.' Saya bertanya lagi: 'Maukah engkau saya nikahkan dengan
putriku?' maka sepontan dia menjawab: 'Subhanalloh, siapa yang tidak mau?'
Berkata Syaikh Jamil Zainu: Akhirnya saya menikahkan putriku
dengannya.'"
Demikianlah seharusnya yang dilakukan oleh
para orang tua kalau menginginkan kebaikan putri-putri mereka. Wallohul muwaffiq.[]
Beliau adalah ulama pada
zaman ini, tulisannya yang populer adalah ‘Bimbingan Islam untuk Pribadi dan
Masyarakat’, ebook-nya
secara berseri telah di publis di http://ibnumajjah.wordpress.com/. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar